Tantrum pada Balita, Mengapa?
:strip_icc():format(webp)/hb-article/ODfU-X-p2Q9lxfiXdXv88/original/474tantrum-pada-anak-penyebab-dan-mengatasinya-by-unge255photostock-shutterstock.jpg)
Anindita Budhi T., S.Psi
Tantrum bisa muncul dalam beragam bentuk. Mulai dari ledakan kemarahan, rasa frustrasi, atau perilaku tidak terarah yang dilakukan Si Kecil. Mama bisa melihat Si Kecil menangis, berteriak, melentingkan tubuh ke belakang, menendang, atau menjatuhkan diri. Tak jarang Si Kecil berperilaku agresif dan merusak barang saat tantrum.
Mengapa Si Kecil tantrum?
Meski demikian, perilaku tantrum umum terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Pada usia ini aspek sosial dan emosional Si Kecil baru mulai berkembang. Ia tidak punya banyak kosakata untuk mengekspresikan emosinya secara tepat. Di sisi lain, Si Kecil juga sedang belajar mandiri. Si Kecil sadar bahwa perilakunya bisa mempengaruhi perilaku orang lain, dalam hal ini Mama sebagai orang tua.
Dengan kata lain, tantrum adalah salah satu cara balita mengekspresikan dan mengelola perasaannya dalam upaya mengubah apa yang terjadi di sekelilingnya. Perlu Mama tahu, ada beberapa hal penyebab terjadinya tantrum pada Si Kecil.
- Temperamen Si Kecil, bagaimana Si Kecil bereaksi saat menghadapi kejadian tertentu. Si Kecil yang mudah marah biasanya cenderung mudah tantrum.
- Kondisi Si Kecil sedang lapar, lelah, dan overstimulasi, membuat Si Kecil lebih sulit mengungkapkan dan mengelola perasaan serta perilakunya.
- Situasi sulit yang dihadapi Si Kecil, seperti saat ia berebut mainan dengan anak lain.
- Emosi kuat yang dirasakan Si Kecil, misalnya sedih, takut, atau marah kadang bisa membuat Si Kecil kewalahan.
Apa yang bisa Mama lakukan?
Sekalipun Mama sudah berusaha mencegah penyebab munculnya tantrum, kadang perilaku ini tidak terhindarkan. Saat berhadapan dengan Si Kecil tantrum, ini yang bisa Mama lakukan.
- Berusaha tetap tenang. Kalau Mama ikut terpancing marah, situasi akan lebih sulit untuk diatasi. Tenangkan diri dulu untuk sesaat. Lalu, bicara dengan suara tegas dan langsung tatap mata Si Kecil.
- Bantu Si Kecil mengakui perasaannya. Lakukan ini, “Pasti kesal ya kalau kue itu jatuh.” Cara ini memberi anak kesempatan untuk menata ulang perasaannya, sambil menerima situasi yang tengah dihadapi.
- Tunggu Si Kecil selesai tantrum. Jika ia tengah meluapkan amarahnya, Mama bisa berada di dekatnya dan menunggu ia selesai. Sekali tantrum mulai, kadang tak ada cara lebih baik untuk menghentikan selain Si Kecil sendiri yang mengakhiri tantrum itu. Pastikan saja situasi sekeliling Si Kecil cukup aman dan bebas dari benda-benda yang bisa melukainya.
- Tentukan peran Mama sesuai urgensinya. Kalau tantrum terjadi karena keinginan Si Kecil tidak terpenuhi, jangan langsung memberikan apa yang ia inginkan. Tempatkan diri Mama sesuai situasi saat itu. Contoh, Si Kecil mulai melemparkan barang saat marah. Alih-alih terpancing atau menuruti kemauannya, Mama bisa coba memeluknya untuk membuat Si Kecil tenang.
- Konsisten itu harus. Sama seperti menanamkan nilai atau kebiasaan tertentu pada balita, bersikap konsisten itu harus. Jika Mama berubah-ubah dalam menghadapi tantrumnya, Si Kecil bisa mencapai kesimpulan bahwa ia dapat “memakai” tantrum sebagai cara memaksa Mama menuruti kemauannya.
Seberapa sering Si Kecil tantrum bukan pertanda Mama orang tua yang buruk. Ingatlah bahwa setiap anak bisa mengalami ini. Lebih baik, fokuslah pada bagaimana Mama merespons tantrum. Jadi, Mama bisa mengetahui sedini mungkin bagaimana mencegah dan menghadapi polah Si Kecil saat sedang tantrum.
Pada akhirnya, membangun kepercayaan Si Kecil pada Mama menjadi dasar dari proses tumbuh kembang Si Kecil di tahap berikut. Perilaku menempel terus menerus ini tidak berlangsung terus menerus kok. Ketika kebutuhan Si Kecil akan rasa percaya itu terpenuhi, Si Kecil merasa disayang dan dicintai, sehingga ia pun tumbuh sebagai anak percaya diri dan bahagia. (AB)